Pernahkah kalian resah dengan ChatGPT atau model AI generative sejenis (Claude, Gemini, Grook, DeepSeek R1, dll)? Iya, saya resah. Pada liburan Imlek ini saya memikirkan hal ini seharian.
Bagaimana jika nanti pekerjaan coding digantikan AI?
Bagaimana jika pekerjaan analisis digantikan AI?
Bagaimana jika blogger dan pekerjaan SEO juga digantikan AI?
Apa yang terjadi jika… dll
Yap, pertanyaan-pertanyaan seperti itu cukup mengganggu saya. Bagaimana tidak, AI sudah mulai jadi pengganti saya untuk Googling dan mungkin AI berpotensi menggantikan pekerjaan saya juga.
Terima kasih untuk liburan Imlek ini, saya punya waktu untuk mempelajari generative AI yang saya sebutkan di atas. Karena sudah memahami bagaimana generative AI bekerja, saya tidak terlalu khawatir dan resah lagi.
Di post ini saya akan mencoba menuliskan apa yang saya temukan dan mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi pembaca.
Generative AI vs. Nalar Manusia
Generative AI
Sederhananya, AI (Artificial Intelligence) adalah keilmuan yang mempelajari bagaimana kecerdasan manusia bisa disimulasikan dengan komputer. Contohnya seperti penalaran, belajar, dan pemecahan masalah.
Tipe dari AI salah satunya adalah generative AI atau yang sekarang kita kenal seperti ChatGPT, DeepSeek, Claude, Gemini, Grook, dll.
Nah, ternyata bagi saya untuk memahami bagaimana generative AI ini bekerja tidak sesulit yang selama ini saya bayangkan. Memang betul banyak matematika yang terlibat, tetapi saya tidak perlu memahami semuanya untuk mengetahui bagaimana generative AI bekerja.
Ada hal mendasar yang membuat saya mendapatkan “Oh moment!” dari keresahan saya. AI Generative text ini ternyata tidak lebih dari model statistik yang sudah di-training sedemikian rupa sehingga bisa memprediksi output text yang akan muncul dengan sangat akurat.
Jika Anda tertarik mempelajari bagaimana LLM bekerja, “Generative AI exists because of the transformer” membuat visualisasi yang mudah dipahami.
Lebih ekstremnya lagi, kita bisa menyebut generative AI ini sebagai autocomplete on steroids.
Nalar manusia
Otak manusia bekerja dengan sangat kompleks. Dengan sedikit informasi yang manusia dapatkan, otak manusia bisa melakukan penalaran. Generative AI tidak demikian, perlu dataset yang sangat besar untuk bisa membuat model LLM seperti sekarang.
Contoh, bagaimana manusia bisa mengambil keputusan jika berjalan sendiri di gang malam hari itu berbahaya? Padahal ini baru pertama kali berjalan ke sana.
Ini yang kita sebut insting hewani. Secara biologis DNA manusia terbentuk dari ribuan tahun, berevolusi dari masa ke masa. Informasi jika gelap berbahaya mungkin didapatkan dari DNA nenek moyang kita yang mungkin saat itu masih berburu di malam hari.
Key takeaways:
- Generative AI tidak memiliki penalaran (reasoning), hanyalah prediksi yang sangat akurat; dilatih dari dataset yang sangat besar.
- Manusia memiliki penalaran, emosi, dan pengalaman. Hal-hal ini mempengaruhi manusia dalam pengambilan keputusan.
Mengganti pekerjaan manusia?
Bagi kita yang sudah mencoba bagaimana powerful-nya ChatGPT membantu pekerjaan kita, mungkin meresponnya dengan campur aduk.
- Developer terbantu dengan code yang di-generate ChatGPT, hasilnya bagus dan cepat. Sementara jika coding manual memerlukan waktu yang tidak sedikit.
- Blogger yang selama ini menulis konten dengan berbagai research keyword, kompetitor, SEO. Ternyata bisa di-offload semuanya ke ChatGPT, bahkan sampai style penulisan bisa ditiru.
Lalu munculah overthinking, apakah ChatGPT akan menggantikan pekerjaan kita?
AI tidak mengerti konteks, manusia punya
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, lagi-lagi sebaiknya kita harus mengerti bagaimana AI LLM ini bekerja. Karena saya sendiri sangat lega begitu tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik layar.
Sebelumnya kita membahas jika AI generative ini sebenarnya memprediksi text apa yang akan muncul dengan sangat akurat. Apa artinya?
Artinya AI generative ini sebenarnya tidak memiliki “true understanding”, AI generative hanyalah bagus untuk berpura-pura seakan-akan mengerti apa yang kita tanyakan. Sementara manusia memahami konteks, tidak memprediksi.
- AI membaca pola-pola text secara statistik, memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya. LLM dilatih dari dataset yang sangat besar (buku, website, code, dll).
- Manusia benar-benar mengerti apa yang sedang terjadi. Memiliki pemahaman berdasarkan pengalaman dan pembelajaran. Memiliki sensori yang tidak dimiliki oleh AI.
- AI tidak memiliki common sense, manusia memiliki.
Mungkin agar Anda benar-benar mengerti apa maksud saya, kita coba tanyakan pertanyaan ini di ChatGPT.
If Bob has 3 apples and eats 1, how many are left?
Apa yang akan ChatGPT jawab? ChatGPT akan menjawabnya “2 apples”.
Kenapa AI bisa menjawab seperti itu? karena AI melihat ini sebagai data, melihat ini sebagai masalah matematis yang pasti. Dan AI sudah dilatih dengan baik untuk hal ini.
Tetapi, mari kita coba tanyakan hal yang lebih abstrak.
If I am not not not not not hungry, do I want to eat?
Lucu bukan? Meskipun jawabannya benar, tetapi alasannya tidak tepat. Manusia akan dengan mudah memahaminya, tetapi AI sepertinya memerlukan proses yang panjang untuk mencoba mengerti apa maksud dari pertanyaan tersebut.
Bagaimana dengan blogger?
Bagaimana dengan blogger? Apakah kita perlu khawatir?
Sebenarnya yang dikhawatirkan saya sebagai blogger adalah penulis akan sepenuhnya digantikan oleh AI. Jika itu terjadi, otomatis pekerjaan blogger tidak ada.
Dengan segala alasan yang sudah kita sebutkan sebelumnya, kita, siapapun itu, tidak perlu khawatir pekerjaan kita digantikan.
Perlu dicatat, sampai saat ini AI belum bisa memahami “emotional depth”, “subjective judgement”, dan tentunya “embodied experience”.
AI bukan akan menggantikan, tetapi AI adalah multiplier untuk manusia. Selama AI tidak memiliki nalar/akal, AI tidak akan bisa menggantikan manusia sepenuhnya.
Karenanya, jika niche Anda adalah evergreen content, AI berpotensi menggantikan blog Anda. Tetapi jika blog Anda unik, memiliki konten berdasarkan pengalaman, up-to-date terhadap peristiwa-peristiwa terkini, blog Anda akan sulit digantikan AI.
Contoh, konten-konten seperti di bawah tidak akan bisa direproduksi oleh AI:
- Studi kasus bagaimana saya mendapatkan 10.000 pengunjung di 30 hari pertama
- Bagaimana saya bisa menghadapi burnout saat bekerja
- Kenapa saya menyesal memakai Ahrefs untuk analisis SEO
- Etc.
Tentu Anda bisa menggunakan AI untuk meng-generate text. Anda bisa generate konten sebanyak-banyaknya. Kualitas konten yang dihasilkan pun variatif, bisa jelek bisa bagus, tergantung dari “command” yang Anda berikan.
AI tidak sebatas untuk generate konten saja, Anda bisa menggunakan AI untuk hal-hal yang teknikal. Seperti membetulkan typo, spin off text agar lebih mudah dipahami, atau bahkan brainstorm terhadap konten yang sedang Anda tulis.
Ingat, AI tidak menggantikan Anda. Tetapi AI adalah multiplier. Artinya jika skill blogging Anda katakanlah 80, dengan AI sebagai pengali, skill blogging Anda akan bertambah. Asalkan digunakan dengan tepat.
Filo Filo
Kalau dipikir-pikir sebenarnya memang kita tidak perlu khawatir, sih, soal AI.
Misalnya, Google Translate sudah ada sejak dulu, mungkin 2006, tetapi sampai sekarang masih ada jasa translate.
Atau, saya melihat sendiri ada toko kelontong yang dengan percaya diri berjualan bensin eceran di depan SPBU. Wkwkwk…, kalau yang ini bukan menjadikan AI sebagai saingan, justru sumber pengasilan.
Orang-orang agaknya mulai kompromoi dengan AI, bahkan di sektor yang harusnya sangat manusiawi, seperti sastra. Ada lho novel yang ditulis AI, dan kabar buruknya, justru mendapat penghargaan dan diakui.
Sebagai orang awam teknologi yang hanya suka mancing ikan, saya tetap tidak bisa menutupi kekhawatiran, sih. Bukan soal kehilangan pekerjaan, tetapi soal menurunnya inovasi dari manusianya itu sendiri.
Nadiar
Terima kasih mas sudah berkunjung. Hehe.
Iya ini curcol aja, belakangan agak resah soal AI ini. Dari blog posting sampai buku serba AI sekarang.
Filo Filo
Seorang penulis kenamaan Indonesia, AS Laksana, menganggap tulisan yang tidak lolos plagiarisme AI merupakan tulisan yang terstruktur dan rapi.
Blundernya, justru instansi pendidikan mengharuskan agar tulisan bebas plagiarisme. Wkwkwk…
Tetapi tetap saja, sih, Mas Nadiar. Produk teknologi sebagai pisau bermata dua. Kalau dimanfaatkan dengan bijak akan memberi dampak positif untuk manusia. Lain dengan pemanfaatan ugal2an untuk kepentingan pribadi.
Saya mau tutup mata atas perkembangan teknologi macam AI ini, takut digilas roda kehidupan. Hmm, serba salah jadinya.